cse

Loading

Selasa, 14 Januari 2014

Defining Iron-Deficiency Anemia in Public Health Terms: A Time for Reflection

The initial term and concept was nutritional anemias. Although this term is not commonly used today, it lives on in the name of the International Nutritional Anemia Consultative Group (INACG).3 Nutritional anemia was defined in a 1968 WHO technical report as “a condition in which the hemoglobin content of the blood is lower than normal as a result of a deficiency of one or more essential nutrients, regardless of the cause of such deficiency.”
To determine which nutritional deficiencies were most responsible, WHO coordinated a series of studies in pregnant women in which anemia, serum folate, transferrin saturation and serum B-12 were assessed. They concluded that “Iron deficiency was present in 40–99% of the pregnant women studied and was undoubtedly responsible for the major proportion of anemia” (WHO 1968).
The evidence that led them to that conclusion is shown in Figure 1. Certainly the authors were impressed by the prevalence of iron deficiency, which was ∼10 times higher than that of folate deficiency or vitamin B-12 deficiency based on their indicators. However, the relation between anemia prevalence and iron deficiency prevalence is not apparent when the data are compared among populations. Within-population correlation coefficients with hemoglobin were published for the study in Vellore, India. There was a strong correlation between hemoglobin and transferrin saturation (r = 0.56, P < 0.001), but the correlation with serum folate was even stronger (r = 0.82, P < 0.001). There was no significant correlation between serum vitamin B-12 and hemoglobin (Baker and DeMaeyer 1979). read more

KIAT SEDERHANA TANGKAL RADIKAL BEBAS


Dalam dua dasawarsa terakhir, pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan berkembang, terutama yang berhubungan dengan penyakit degeneratif.  Maka pemahaman seputar radikal bebas dan antioksidan pun berkembang lebih luas.bacaan lebih lanjut lihat disini
Proses metabolisme tubuh selalu diiringi pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang sangat reaktif.  Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan “meloncat-loncat” di dalamnya.  Mencari, lalu “mencuri” satu elektron dari molekul lain untuk dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam tubuh pada hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi lipida.
Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan tidaklah mungkin terjadi.  Radikal bebas berperan penting pada ketahanan terhadap jasad renik.  Dalam hati dibentuk radikal bebas secara enzimatis dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak obat-obatan dan zat-zat asing yang beracun.
Namun pembentukan radikal bebas yang berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan.  Dalam pencariannya, membran sel dijebol dan inti sel dicederai.  Aksi ini dapat mempercepat proses penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan sel-sel tumor. Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis).
Tubuh memerlukan bala bantuan untuk mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh.  Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan elektron), sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan elektronnya.
Unsur antioksidan yang terpenting adalah yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi memenuhi tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral tertentu.  Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi suplemen, baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis.
Belum banyak yang memahami benar seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang dikelompokkan sebagai antioksidan.  Sebagai contoh masih terdapat perbedaan pendapat tentang dosis Vitamin C yang perlu dikonsumsi setiap hari.  Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan cukup untuk kebutuhan setiap hari.  Jika mengonsumsi berlebih akan terbuang dalam urin. Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg agar Vitamin C bukan sekedar memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi proses metabolisme, tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai antioksidan.
Beberapa pakar nutrisi berpendapat, bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara  menjaga pola makan bergizi seimbang. Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang dapat melakukannya setiap hari.  Sebagai contoh, bagi kalangan berpendapatan kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif mahal, sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi berkurang.  Mereka berpendapat dapat digantikan dengan suplemen yang lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals, yaitu sekumpulan bahan-bahan kimia yang mempunyai fungsi belum diketahui secara rinci.
Ada pula yang berpendapat, dalam mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak menggunakan vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg Vitamin C setiap hari.  Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi kesehatan, apalagi digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi menunjukkan, dosis terlalu tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi prooksidan,” peringatan dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah kesehatan tujuh tahun silam.  Kendatipun demikian sampai saat ini masih banyak konsumen yang tergoda untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai janji khasiatnya sebagai penghambat proses penuaan.
Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny seringkali mampu memberikan sinyal kekurangan vitamin tertentu.  Sebagai contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan tubuh akan terasa pegal.  Oleh karenanya kecukupan kedua macam vitamin tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buah segar setiap hari dalam porsi yang memadai.



baca juga artikel di bawah ini
apa itu antioksidan?
dewandu bisa tangkal radikal bebas 
5s tangkal radikal bebas
antioksidan mampu tangkal radikal bebas 
antioksidan dan peranannya bagi kesehatan
antioksidan bagi pasangan yang menginginkan anak
tangkal radikal bebas dengan wortel
kemangi cegah radikal bebas
tanda penuaan dini akibat radikal bebas
oksidan, antioksidan, dan radikal bebas

Selasa, 07 Januari 2014

masalah gizi pada remaja.

Masalah gizi pada remaja muncul dikarenakan perilaku gizi yang salah, yaitu ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Masalah gizi yang dapat terjadi pada remaja adalah gizi kurang ( under weight ), obesitas ( over weight ) dan anemia. Gizi kurang terjadi karena jumlah konsumsi energi dan zat-zat gizi lain tidak memenuhi kebutuhan tubuh. Akantetapi paa remaja putri, gizi kurang umumnyaterjadi karena keterbatasan diet ataumembatasi sendiri intik makannya. Kejadian gizi lebih remaja disebabkankebiasaan makan yang kurang baik sehingga jumlah masukan energi (energintake) berlebih, sedangkan kejadian anemia pada remaja karena intik zat besi yang rendah. Remaja putri lebih beresiko terkena anemia selain karena keterbatasan intik pangan hewani juga karena menstruasi dan meningkatnya kebutuhan zat besi selama growth spurt

untuk lebih lengkapnya download disini